Getar.id – Bagi sebagian masyarakat Papua, 1 Desember diperingati sebagai hari Kemerdekaan Papua.
Namun demikian, Papua dan juga Papua Barat telah final menjadi bagian dari NKRI hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang digelar pada 2 Agustus 1969.
Menurut Direktur Moya Institute, Hery Sucipto, tuntutan Papua merdeka yang digelorakan sebagian kecil aktivis dan OPM sebagai hal yang sulit.
“Pepera itu hasil pendapat rakyat Papua dan konstitusional. Hasilnya aklamasi. Jadi tuntutan referendum atau merdeka itu lebih pada tuntutan politis,” ujar Hery.
Lebih lanjut, pengurus LHKI-PP Muhammadiyah ini menyatakan, jika tuntutan merdeka itu sebagai ilusi saja. Hanya angan segelintir orang saja.
“Papua kini sudah makin maju dan sejahtera. Pemerintah Pusat juga memberi khusus, terutama di era Jokowi saat ini, pembangunan sangat massif di sana. Belum lagi alokasi dana Otsus yang puluhan trilyun tiap tahunnya,” papar dia.
Karena itulah, lanjut dia, tidak ada alasan tuntutan untuk merdeka bagi Papua. Yang terpenting bagi kita semua adalah bagaimana lebih serius lagi membangun Papua dan Papua Barat agar lebih makmur dan maju lagi. Begitupun dengan daerah-daerah lain.
Hal-hal menarik inilah yang antara lain akan dikupas dalam webinar series yang digelar Moya Institute dan WAG Unity in Diversity (UiD), Senin sore (30/11).
Webinar menghadirkan empat narasumber: Dubes Prof. Imron Cotan (Pemerhati Papua dan Pakar Politik Internasional), Yanto Eluay (Ondofolo, Ketum DPP Presidium Putra Putri Pejuang Pepera), Willem Frans Ansanay (Ketua Bamus Papua dan Papua Barat), dan Ali Kabiay (Ketua DPD Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua). (uff)